Sabtu, 05 Oktober 2013

Senandung Pujangga (Sebuah Cerpen)


Menanti Surat Maryam
Karya Muh.Arif Rahman
Siapa bilang langit cerah hari ini? . Faktanya tak secerah bintang memantulkan sinarnya . Teriakan langit membuat kaki ku bergetar , siapa lagi ? ya aku Nasrul biak transmigran asal Sleman . Nampaknya akan turun serdadu hujan dari langit yang sebentar lagi akan menghapus debu di bumi khatulistiwa. 
Meski kaki ku bergetar bagai dawai gitar yang sedikit sumbang , tapi hati kecil ini tetap optimis akan hidup . Langit kusam nan gelap tak bercahaya , begitulah lukisan hidup ku yang abstrak , meski begitu aku harus ikhlas melakoninya tanpa harus pasrah begitu saja . Jenggot khas ayahku hitam keputih-putihan dan rambut bergelombang ibuku masih ku simpan dalam memory kecil dalam hidupku sebelum mereka pergi membawa kebahagiaan hidup ku dan luka membekas di Gempa Yogyakarta . Sesekali irama lagu “Kla Project” membuat aku menangis di sudut malam .  Ucha dan Nisa bukanlah kerabat lama , terlebih lagi saudara sedarah dengan ku . Tepatnya jembatan tua Pasar Beringin kota Kelenteng yang mempertemukan kami 2 tahun silam , setelah aku menyelesaikan belajar di tingkat pertama sebelum Pak Lek Diman lari bersama janda muda pergi entah kemana .
Siapa kira , kata Pak Toke , aku bocah yang bisa di kata kan ABG , dengan gaya yang kalem dan lembut  , suara yang enggan terdengar dapat melakukan hal ini . Jawaban yang paling tepat adalah hidup yang membutuhkan kuantitas harta .
Salah besar jika ada yang beropini hal ini hal buruk . Dengan kedua kaki yang ku miliki , aku mengitari kota tatkala matahari di atas ubun-ubun hingga tak lagi membiaskan cahayanya . Bukan lah bernyanyi dengan gitar tua dan krencengan bekas , bukan juga meminta merengek dengan paras iba di perempatan lampu merah Jalan Ali Anyang , melainkan lembaran-lembaran kaya wawasan teraktual selalu hadir di tengah kesibukan warung kopi dan terminal . Warung Kopi milik Ko Aloy jadi sasaran jitu .
Sesekali koran-koran layu karena keringat bernada letih dari wajah ku jatuh satu demi satu . Aku bukan lah lelaki yang kuat , mampu menegak kan baja sebagai pasak bumi , tapi hati dan semangat yang membuat tegar , menukar lembaran-lembaran kertas untuk selembar kertas , sesekali seberkas logam .

Mungkin nasib badan , aku lebih beruntung di banding Ucha dan Nisa yang tinggal di pelosok kota , harus berhenti menggali ilmu , di ingat-ingat hanya setinggi Madrasah Ibtidaiyah , dapat mengeja dan bersenandung dengan angka itu sudah lebih dari cukup bagi Ucha dan Nisa .
“Nasrul tidak kah sekejap kau lepas kaca itu dari kedua mata mu” , tanya Ucha pada ku ,       “ Apa yang kamu katakan Cha’ , jika ku letakkan kaca mata ini di saku ku , bagaimana aku dapat melihat wajah mu yang penuh debu ? “ , jawab ku . “ Mengapa tidak kamu ciptakan sesuatu agar kamu dapat membuka lebar matamu , agar dapat melihat semut yang bekerja tanpa kaca mata , bukan kah sejuta rumus selalu berputar-putar di kepalamu?” , saut Nisa ,    ” Akan ku ciptakan roket dengan kecepatan melebihi cahaya , tanpa frekuensi tanpa gravitasi , lalu kalian bersandar di dalamnya , terbang mengitari bima sakti , amat jauh dan tinggi , agar kalian tak kembali lagi untuk menertawakan ku “ , cetus ku . “ Santai lah Nasrul , tapi ku harap otak canggih mu , dapat menciptakan suatu alat , yang dapat mengawetkan pertemanan kita “ , jawab Ucha dengan tenang . Suasana tepian Jembatan Agen semakin riuh oleh mereka , yang selalu menghadirkan tawa dan canda di tengah bisingnya kota .
“Nasrul , bagaimana sekolahmu?” , tanya Maryam . “ Sudahlah ka’ , tak perlu khawatir pada ku , jikalau harus memilih , kakak ataukah masa depan ku , tak kan ku pilih atas pilihan yang kedua “, jawab Nasrul . “ Jikalau aku hidup untuk memudarkan masa depan mu , dan aku mati untuk menyempurnakan masa depanmu , pastilah  ku memilih atas pilihan yang kedua”. Maryam yang terlahir lebih dulu di banding aku dan Zahra , dapat dikatakan wanita yang kuat , tegar bagai Siti Masyitah , annisa zaman Fir’aun , teladan wanita solehah . Bagaimana tidak , ayah sekaligus ibu di perankan nya . Untung saja aku dan Zahra adikku  , terlahir dan di utus Maha Khaliq sebagai bocah yang taat dan pandai menelusur hidup .
Beralih bab mengenai cinta . tiada yang percaya jika aku membahas mengenai persoalan cinta . Sebagai ahli Fisika , mulutku hanya berbuih tentang rumus dan teori alam , selalu rumus , lupa bahwa cinta merupakan kebutuhan manusiawi yang tak pernah masuk dalam hitungan dan teori .
Dapat terbilang Ajeng salah satu gadis yang amat simpatik padaku . Di sisi bertolakan , 360 derajat berbeda dengan Dewo, “boy friend” itulah kata gaulnya sebagai penerang antara Dewo dan Ajeng  , selalu menggerutu jika di tanyakan masalah pengetahuan dan ketaqwaan . Siapa lagi kalau bukan Dewo yang selalu bermain di atas penderitaan ku , menari indah , berputar-putar mengitarinya , “ penguasa , penguasa , berilah Nasrul uang , beri Nasrul uang “ , nyanyian dari  suara “cempreng” Dewo di persembahkan untuk ku setiap kali berpapasan ,   “ hah , dasar tengik ”pikirku .
“Nasrul , aku mendapati informasi , pekan depan akan ada Physics Competition tingkat Pemerintah Kota , maksud lisanku niatkah kamu ikut?” , seru Ajeng . “ Dengan tergagap gugup aku menjawab tawaran Ajeng , “ Jika benar demikian , aku persiapkan  sematang mungkin , aku menyukai rumus dan teori alam yang menari di otak ku “ , “ Buat aku bangga , jika kamu membutuhkan sedikit atau mungkin banyak bantuan , tak perlu sungkan mengatakan nya pada ku “ , ujar Ajeng . Sepasang angsa memang selalu hadir di tengah danau yang tenang tak jauh dari muara , tak lepas dari itu seekor buaya memang selalu ingin menerkam . “ Ajeng! , saat ini aku membutuhkan mu , enyah lah dari hadapan bocah penjual koran itu , kamu pantasnya berdiri manis dan anggun di hadapanku “ , saut Dewo . Yah , penguasa alam , selalu begitu , Dewo tak pernah suka atas pertemanan ku dan Ajeng .
Dalam hatiku sedang bergerak katrol yang selalu naik turun dengan kecepatan yang tak konstan , satu sisi pekerjaan dan kondisi Maryam , sisi lain masalah Physics Competition . Lelaki dewasa mana yang sanggup bekerja sedang istrinya sakit keras , dengan anak yang belum cukup usia , begitu pula diriku , tak ada beda . Sepekan  bukan lah waktu yang panjang seperti Sirotul Mustaqim , Ucha , Nisa , dan adikku Zahra selalu menghantam ku dengan motivasi , serta Maryam menghantar dengan syair-syair do’a . Harapan bukan lah menang dalam kompetisi , melainkan saat ini pkiranku bercabang tak berakar , berharap Dewo tak mengacaukan semuanya .
Semangat hidup tengah bergejolak di jiwa ku . Bukanlah ringan tentang hal ini . Menghantar koran kesana-kemari dengan perasaan bimbang , mengingat rumus dan teori menemani langkahku . Tatkala bersandar sejenak di tepian kota , selembaran-selembaran hasil pemikiran Sir Isaac Newton , Albert Einstein , Pieter Zeeman dan manusia genius lainnya , ku buka kembali , ulang dan ingat kembali , kemudian tulis kembali .
Petang menjemput , mega merah memberikan sugesti keyakinan , aku harus kembali , bukan kembali ke masa lalu , tapi tetap di masa sekarang dengan tokok-tokoh lawas yaitu Maryam dan Zahra . Jeritan keluh Maryam terkadang membuat hatiku menangis kencang . Untung saja Zahra selalu dapat membantuku mempertahankan hidup Maryam . “ Buatlah aku bangga , sebelum aku membuat kamu menangis “ , ujar Maryam . “ Sudah lah kak , aku tak senang kamu berkata yang tak semestinya “ , cetus Nasrul .
O , Ajeng yang manis , menikmati indah mu dari sudut hitam ku , sudah cukup bagiku .    “ Haruskah aku memilih yang mana , peti berlapiskan emas , tapi isi nya kosong , atau tong rongsok tapi isinya  penuh dengan emas ? “ , tanya Ajeng pada kedua rekannya , Uray Rahma dan Pipin . “ Dewo atau Nasrul , sama saja bagiku , tergantung hati mu berpihak “ , jawab Uray . “ Aku lebih memilih Huda!” , saut Pipin , “ Serius doing Pin , selalu pria itu yang ada di mesin imajinasimu yang lelet” , cetus Uray .
Segala persiapan penuh hambatan telah ku lakoni , hingga dua hari menjelang , orang terminal langganan tetap , tak mendapati koran dariku , Bang Toha pun tak menerima setoran dariku . Bang Deden sopir Bus Bintang Harapan mencari ku untuk melunasi tanyaku tentang hubungan hidup dan keyakinan hati .
“ Telah tiba waktunya , akau pinta pada kalian Ucha dan Nisa , jangan kalian tinggalkan Kak Maryam hari ini , tetaplah temani di samping nya , hingga petang datang , aku akan kembali , akanku kabari lewat handphone “ , pintaku . Ucha dan Nisa tak berkeliling warung kopi hari ini . Mereka menerbang kan secarik do’a bersama Maryam ,  begitu pula Zahra .
Tuhan Maha Agung ,
Ah! Inilah namanya kebebesan hidup di negeri bermacam realita pahit . Langit tersenyum , burung bernyanyi , rumput menari , syukuri rahmat tuhan yang terpenting . Selembar piagam tertulis “Nasrul Hadi” dan tropi perjuangan , kubawa untuk siapa pun yang telah mendorong ku maju . Ya tuhan! Namun apa daya pria seperti ku , kebahagiaan di baluti kesedihan , dan perasaan kehancuran , selalu begitu , oh Tuhan inikah caramu menyayangiku . Ini bukan lah seperti cerita sinetron ataupun opera , ini kenyataan bagiku , skenario tuhan telah terbilang seperti itu .Wanita penuh kasih, memang sangat Tuhan Maha Pencipta cintai , Tuhan sungguh tak tega melihatya menderita dengan TBC yang kronis , keputusan tuhan dalam skenario nya memang tepat . Tapi bagiku dan Zahra , tak pernah berharap keputusan itu hadir , dan tertulis di skenario takdir hidup .
Bukanlah awal kehancuran kehilangan Maryam untuk seumur hidup , tapi ini adalah awal untuk membuka pintu masa depan , sebuah motivasi terbesar bagiku . Membawa Zahra hidup susah untuk menjadi gadis dewasa kini beralih haluan untukku , mengemban tugas tak semudah menyelesaikan perkara Hukum Newton dan Teori Atom , setelah Maryam mensukses kan hayatnya . Mencari hidup yang sesungguhnya akan ku mulai , walau pilu menghantam . Raga dan penderitaan Maryam boleh saja terkubur dan usai , tapi harapan? , kini harapan itu telah ku rangkul bersama Zahra . Ucha dan Nisa tetap menjadi wayang dalam hiburan yang nyata .
Menyenandung tawa dan gurauan yang tak pernah garing , pilihan tepat bagi Ajeng . Bukan lah memilih peti berlapis emas , ataupun tong rongsok penuh debu berisi emas , melainkan dua sayap walau berlapis perak yaitu Uray Rahma dan Pipin . “ Cinta ? mungkin bukan sekarang , benarkan Nasrul ? “ , tanya Ajeng , “ Tepat , begitu pun aku , cinta bukan waktunya , tapi ini waktu untuk aku dan Zahra “ , jelas Nasrul , “ Tepat , benar-benar tepat ,sama seperti rumus-rumus fisika yang berputar-putar di kepalamu , walau begitu , ku tunggu kehadiran hidup mu dan Zahra di hidupku “ , harap Ajeng . Ini bukan lah akhir segalanya , melainkan awal segalanya .
 Semilir angin enggan menjamah , pecah berderai tertahan perisai menciptakan bunyi di jendala kamarku , tetes-tetes embun pun berluruhan .  Sejuta bayangan hadir , ayahku , ibuku , kak Maryam , senantiasa  membawa bulan sabit tatkala hujan turun . Rotasi telah berputar menggelapkan langit biru dan mega merah di kala petang , memejamkan kedua mataku sejenak , bersama harapan baru di hari esok .
Kring , kring , kring , sepeda butut hadiah Pak Lek Diman yang di gadai nya , telah ku tebus untuk Zahra pergi sekolah , dan aku ? , setiap petang kakiku sengal ,  lupakan saja . Berisik radio selalu menemani malam-malam ku bersma Zahra , termenung membayangkan bila pilar-pilar bangsa yang masih belia punya nasib serupa dengan ku , apa yang terjadi pada bangsaku ? , apa yang terjadi bila terdapat ribuan orang seperti Dewo ? , akan ku ciptakan ribuan Ajeng pula untuk menakhlukannya . Memikirkan diri sendiri saja bagai membangun istana di atas air , bagaimana jika harus memikirkan nasib bangsa . Tak seperti Maryam yang miskin namun peduli dengan pejabat negeri yang sugih.
Kumpulan bintang Andromeda pasti memiliki celah , ku harap itu celah untuk ku sisipkan semua harapanku dan impian Maryam dalam suratnya sebelum ia kembali . Menjadi anak bangsa yang tersiksa oleh hidup memang tak mudah . Oh kak Maryam , betapa malunya aku! , jika harus tertahan di cerita ini ? , ku ingin menyambung kisah ini menjadi ribuan episode , apakah bangsa ku peduli akan orang kecil seperti ku ? , mengutamakan pendidikan hanya bualan semata , nyatanya adalah lebih busuk! .
Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang punya pilar bangsa yang kompetitif dan profesional , bukan seperti aku dan teman jalanan lainnya , waktu hanya sia-sia , namun bangsaku tak peduli , omong kosong saat orasi kampanye .
Aku melihat wajah-wajah protes yang terpendam , dinding kosong yang terukir ” Kami hidup tapi Mati” mereka coreti dan lempari dengan batu . Betapa sedihnya hidupku ini , tak akan happy ending jika harus berbuih mulut ku berbicara tentang tanah air tanah tercinta . Apa yang harus ku bahas ? Cinta ? , biar lah cinta berekspresi di atas kendali ku , Ajeng telah lenyap bagi ku , namun piringan hitam tentang nya masih ku simpan dalam gubuk peot ku sesekali ku putar bersama Zahra , Ucha dan Nisa .
Si pengemis kecil menangis saat ku duduk di sampingnya , ku tanyakan lalu ia tak bisa menjawabnya . Ku tahan nafas akan bau peluh , ku tulis surat untuk Maryam , keadaan ku , Zahra dan bangsa ku . Aku tak pernah dusta apa yang terjadi tetap ku ukir dalam kertas berisi fakta , agar Maryam dapat menjadi dalang tentang cerita ku yang akan di dengar oleh ayah , ibu , Bude Fitri , dan korban lain yang mendahuluiku . Apakah nyaman  ada di surga , ku tunggu balasan surat dari mu Maryam .
Aku patut merasa menjadi pribadi yang bangga jika mampu membanggakan orang tua dan orang tersayang yang telah membangga-banggakan ku , meski diriku sendiri tak tahu apa yang dapat di banggakan , itu lah bangga tiada banding . Meski aku menjadi pilihan pertama dalam Physics Competition , namun aku menjadi pilihan terakhir dalam kompetisi hidup . tak sehebat Maryam yang bertahun-tahun merangkul beban keras dan siksa , terlebih hidup di tanah sendiri namun sengsara bukan main bagai bernafas di negeri seberang .
Bersiap! , aku dan Zahra akan terbang ke Jakarta hadiah dari penyelenggara Phyisics Competition  , semoga dapat melupakan sejenak kehidupan sengsara di dunia jalanan , kemana pun aku berpijak , selama langit tetap menjadi atap abadi ku , tetap ku tulis untuk Maryam , dan sampai kapan pun ku tunggu balasan surat darinya .  .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar