Menanti Surat
Maryam
Karya Muh.Arif
Rahman
Siapa bilang langit
cerah hari ini? . Faktanya tak secerah bintang memantulkan sinarnya . Teriakan
langit membuat kaki ku bergetar , siapa lagi ? ya aku Nasrul biak transmigran asal Sleman . Nampaknya
akan turun serdadu hujan dari langit yang sebentar lagi akan menghapus debu di
bumi khatulistiwa.
Meski kaki ku bergetar
bagai dawai gitar yang sedikit sumbang , tapi hati kecil ini tetap optimis akan
hidup . Langit kusam nan gelap tak bercahaya , begitulah lukisan hidup ku yang
abstrak , meski begitu aku harus ikhlas melakoninya tanpa harus pasrah begitu
saja . Jenggot khas ayahku hitam
keputih-putihan dan rambut bergelombang ibuku masih ku simpan dalam memory kecil dalam hidupku sebelum mereka
pergi membawa kebahagiaan hidup ku dan luka membekas di Gempa Yogyakarta .
Sesekali irama lagu “Kla Project”
membuat aku menangis di sudut malam . Ucha dan Nisa bukanlah kerabat lama , terlebih
lagi saudara sedarah dengan ku . Tepatnya jembatan tua Pasar Beringin kota Kelenteng yang mempertemukan kami 2
tahun silam , setelah aku menyelesaikan belajar di tingkat pertama sebelum Pak Lek Diman lari bersama janda muda
pergi entah kemana .
Siapa kira , kata Pak
Toke , aku bocah yang bisa di kata kan ABG , dengan gaya yang kalem dan lembut , suara yang enggan terdengar dapat melakukan
hal ini . Jawaban yang paling tepat adalah hidup yang membutuhkan kuantitas
harta .
Salah besar jika ada
yang beropini hal ini hal buruk . Dengan kedua kaki yang ku miliki , aku
mengitari kota tatkala matahari di atas ubun-ubun hingga tak lagi membiaskan
cahayanya . Bukan lah bernyanyi dengan gitar tua dan krencengan bekas , bukan
juga meminta , merengek dengan paras iba di perempatan lampu merah Jalan Ali
Anyang , melainkan lembaran-lembaran kaya wawasan teraktual selalu hadir di
tengah kesibukan warung kopi dan terminal . Warung Kopi milik Ko Aloy jadi
sasaran jitu .
Sesekali koran-koran
layu karena keringat bernada letih dari wajah ku jatuh satu demi satu . Aku
bukan lah lelaki yang kuat , mampu menegak kan baja sebagai pasak bumi , tapi
hati dan semangat yang membuat tegar , menukar lembaran-lembaran kertas untuk
selembar kertas , sesekali seberkas logam .
Mungkin nasib badan ,
aku lebih beruntung di banding Ucha dan Nisa yang tinggal di pelosok kota , harus
berhenti menggali ilmu , di ingat-ingat hanya setinggi Madrasah Ibtidaiyah ,
dapat mengeja dan bersenandung dengan angka itu sudah lebih dari cukup bagi
Ucha dan Nisa .